Where is the number 1 church?

Mungkin sebelum aku cerita ada baiknya aku memberikan informasi tentang gereja lokalku. Aku bertumbuh di sebuah gereja kecil yang berada di antara gereja-gereja besar lainnya. Ironis mungkin tapi gerejaku tidak sekecil yang kalian pikirkan. Kami mempunyai fasilitas yang cukup lengkap hanya saja yang lain memiliki lebih.haha

Di ibadah youth tempat aku melayani ada sekitar 60 orang jemaat. Jumlah yang lumayan bagi sebuah gereja ukuran kami. Sepertiga dari jemaat ini adalah pelayan yang telah setia melayani selama beberapa tahun belakangan ini. Dan aku yakin gerejaku akan bertumbuh lebih besar.

Ok cukup dengan pengenalannya. Sekarang ini aku melihat ada suatu budaya di anak muda Kristen yang mencari sebuah gereja entertainment. Mereka tidak mencari tempat untuk bertumbuh melainkan sebuah tempat yang paling dapat memfasilitasi dan menghibur mereka.

Seorang teman yang aku anggap telah mapan kerohaniannya bertanya kenapa aku memilih gerejaku dan tidak memilih gereja yang lebih besar yang tersedia di dekatku. Aku benar-benar terkejut mendengar pernyataan ini.

Lebih parahnya ada yang menjadikan nama gerejanya sebagai sebuah prestise diri. Misalnya: aku dari gereja X lho, aku dari gereja Z lho. Mereka lebih suka membicarakan betapa hebat gerejanya daripada tentang firman, berkat dan pelayanan.

Dan yang jauh lebih parah tidak cuma para jemaat yang notabene kurang mengerti esensi sebuah ibadah. Para majelis dan pemimpin pun mulai main rebut-rebutan domba. Tidak jarang mereka menyerang sebuah doktrin yang mereka anggap tidak sejalan. Menyalahkan sistem yang berbeda dari mereka. Dan Rumah Tuhan pun dijadikan ajang untuk mengumpulkan harta.

Satu hal yang ingin aku teriakkan di tengah situasi seperti ini adalah cobalah kita berhenti sejenak untuk menjadi sedikit lebih bijaksana. Salah satu definisi dari gereja adalah Tubuh Kristus dimana peran kita hanyalah hamba, pelayan, pengerja, partikel kecil dari sebuah Tubuh dan Yesus adalah pemimpin dan kepala kita.

Bagaimana mungkin sesama tubuh saling bersaing dan mengatakan satu yang lain lebih penting. Bagaimana mungkin yang satu mengatakan dirinya lebih baik padahal yang menjadi dasar dan kepala dari kita semua adalah satu pribadi yang sama Yesus Kristus.

So where is the number 1 church?

There is none. Because there’s only one church and there has to be one. Since we are one…

To Be, To Do, To Have

Beberapa waktu lalu, aku mengikuti seminar yang dibawakan oleh Bpk. Reza Indragiri yang merupakan salah satu dosen psikologi Univ. Binus, dimana aku kuliah.

Ketika itu, beliau becerita banyak hal dan ada satu hal yang kemudian menginspirasiku dalam realita kehidupan, yaitu tentang interkorelasi erat antara to be, to do, dan to have.

Ada 2 paradigma besar yang digunakan masyarakat dalam pola pikir kehidupan mereka:

1. To Have >> To Do >> To Be

3 kata tersebut mempunyai hubungan saling mempengaruhi dimana kata sebelumnya akan mempengaruhi kata berikutnya. Jadi analoginya seperti ini aku harus ‘punya’ dulu maka aku akan ‘melakukan’ setelah itu baru aku dapat ‘menjadi’.

Contoh sederhananya seperti ini, bila aku ingin menjadi kaya. Maka aku harus bekerja sebagai dirut perusahaan berskala internasional. Tapi untuk menjadi itu aku harus super pintar dan super bisa. Padahal aku tidak pintar dan aku tidak punya keahlian yang membanggakan. Artinya aku tidak mungkin menjadi kaya.

Paradigma pertama ini memberikan syarat ‘to have’ untuk menjadi ‘to be’. Makanya sering kita dengar. Aku ingin punya pacar seperti model tapi aku kan jelek. Aku ingin kaya tapi orang tua ku miskin. Aku ingin menjadi pianis tapi aku tak punya piano.

Tampaknya sebagian besar orang termasuk kita memilih menggunakan paradigma ini. Inilah sebabnya kenapa bermimpi menjadi dosa. Namun ada 1 paradigma lagi yang aku pun baru tahu.

2. To Have >> To Do >> To Be

Kebalikan dari paradigma pertama, paradigma ini hanya mengharuskan kita menerima kenyataan kita sekarang ‘to have’ lalu cukup melakukan apa yang dapat kita lakukan ‘to do’ dan akhirnya kita menjadi yang kita inginkan ‘to be’.

Sekilas tampak sederhana, tapi mempunyai impact luar biasa. Jadi coba aku putar analoginya. Aku tak memiliki banyak kemampuan, aku hanya dapat melukis, baik aku coba lakukan dari apa yang aku bisa. Dan tanpa sadar aku ternyata bisa menjadi pelukis internasional.

Aku belajar dari hal ini. Pertama untuk menghargai kemampuan diri kita, sebesar apapun itu. Lalu coba kembangkanlah perlahan dari apa yang kita bisa, tak ada yang instan di bumi ini kecuali mi instan (haha).

Aku yakin Tuhan menghargai anak-anakNya yang setia dengan apa yang Dia beri. Sehingga Dia tidak akan sabar untuk memberi lebih.

Terakhir jangan takut untuk bermimpi. Karena pertama, mimpi itu gratis. Dan kedua mimpi itu tidak dosa. ^^